#3 JURNAL X
Siti Parwa: Rahim Malam, Lahir dalam Kutukan
I
Aku terlahir dari darah ibu yang tersungkur, belati ayah menusuk jantungnya saat fajar. Kutukan buah merah mekar di perutku. Biji derita yang ditanam sebelum nafas pertamaku. Sepanjang malam, peri bulan meratap di pembaringan—Ayah membisik: “Kau bukan anakku, tapi duri yang lahir dari bangkai!”. Ibu diam, tubuhnya menjelma kabut di ujung ranjang. Maka malam memberiku nama: Aska—Jiwa yang lahir dari senyap. Aku tak mengenal matahari. Siang adalah ilusi, malam adalah rahim yang membesarku. Di kamar berloteng seribu langit, aku menyaksikan pangeran mimpi datang tiap bulan kesembilan. Dia mengetuk jendela, menyanyikan lagu tentang ibu yang tersekap dalam apel busuk di bawah bantal. Tapi saat ayah mendekat, Pangeran itu luruh menjadi debu. Pagi kembali merampas tubuhku. Ibu pergi tanpa bekas, hanya tinggal bau gerimis yang melekat di kelambu. Ayah menatapku laksana cermin retak: “Parasmu mirip si sundal yang kuhukum!”. Tangannya mencakar leherku, merah darah mengalir ke palung ranjang. Di matanya, kulihat ibu terjatuh—Bersama sebutir apel yang terbelah. Malam itu, buah merah berbisik dari laci: “Gigit aku, Aska... Pecahkan kutukan ini!” Lidahku haus, darah ibu mengental di kerongkongan—Satu gigitan, racunnya menjalar. Aku terkapar, melihat bayangan Hanuman mengangkat tubuhku ke langit ketujuh. Sebelum pingsan, kudengar suaraNya: “Kau harus jatuh ke Girah, tempat kutukanmu bertemu takdir”
II
Di Girah, asap dupa menyatu dengan deru angin. Aku berganti nama: Siti Parwa—Perawan yang dikutuk membawa bakal maut dalam rahim. Sang Hanuman berucap: “Buah merah telah menitipkan benih dosa padamu. Kau akan melahirkan anak yang meruntuhkan tahta langit!” Tapi aku tak peduli. Di perutku, Kenanga menendang-nendang. Dia ingin lahir, meski dunia menjemputnya dengan duri.
Dursila datang dengan pasukan—Mata keranjang yang ingin memetik Kenanga sebelum mekar. Dia menggedor gubukku: “Serahkan anakmu, atau kubakar hidup-hidup!” Aku tersenyum, mengajukan syarat: “Buat seribu patung wajah Kenanga sebelum fajar. Jika gagal, kau jadi batu penghias Girah!”. Dia tertawa, tak tahu ini adalah mantra terakhirku.
Saat fajar, patung itu belum genap seribu. Kutukan buah merah merangkul Prabu Dursila. Darahnya membeku, kulitnya mengeras. Aku pun tersenyum, merangkul takdir: Tubuhku pelan-pelan menjadi batu, sementara Kenanga berlari ke hutan dengan secarik mantra pemberian Hanuman: “Jika kau ingin ibumu hidup, jadilah kau embun yang menyuburkan bumi”
III
Seratus tahun kemudian, Girah menjelma hutan. Patung-patung kami tumbuh menjadi pohon apel merah, akar-akarnya menyerap racun bumi. Di bawah pohon tertinggi, mata air jernih mengalir: “Itu air mata Kenanga yang tak pernah berhenti”. Sang Hanuman duduk di tepi mata air, menulis kisah ini di atas daun lontar: “Kutukan tak pernah mati—Ia hanya tertidur, menunggu tangan salah yang memetik buah terlarang.” Lalu Ia menghilang dalam gemuruh, meninggalkan Girah yang masih menyimpan pertanyaan: “Mengapa dewa-dewa selalu menjual dongeng dengan harga segelas air mata?”
…
ditulis pada tanggal 20-04-2016
direvisi pada tanggal 19-03-2025