28/02/2025
"Jika aku adalah penulis yang menulis tentang diriku sendiri, aku akan melawan male gaze dengan cara yang elegan. Aku tidak akan menggambarkan tubuhku sebagai objek yang dipamerkan, tapi sebagai subjek yang merasakan. Aku akan menulis tentang bagaimana kulit sawo matangku merespon sentuhan angin malam, bagaimana rambut bergelombangku menari di punggungku, bagaimana bekas luka di tanganku bercerita tentang kecelakaan masa kecil yang membuatku belajar berani.
Aku akan menulis tentang seksualitas ku bukan sebagai sesuatu yang eksploitatif, tapi sebagai ekspresi kebebasan. Tentang bagaimana aku lebih suka bralette tanpa kawat karena itu membuatku nyaman, bukan karena itu seksi. Tentang bagaimana orgasmeku datang dari percakapan mendalam dan sentuhan penuh kasih, bukan dari dominasi.
Aku akan menulis tentang tubuhku dengan hormat, karena ini adalah rumahku. Dan rumah bukan untuk dijual atau dipamerkan, tapi untuk dihuni dengan bangga."
…
Laut Selatan malam itu bernyanyi. Bukan dengan suara biduan, tapi dengan geraman perempuan yang air matanya membatu menjadi karang. Nyi Roro Kidul, mereka menyebutnya: Ratu Laut Selatan yang mengutuk diri sendiri karena cinta terlarang. Tapi Laras kecil tahu—dalam diam—bahwa sang ratu hanya perempuan yang lelah dipaksa memilih antara tahta dan rahimnya.
Di antara debur ombak yang memecah bulan, suara itu bergumam:
“Perempuan yang menolak dikubur dalam pasang, akan menjadi gelombang yang menghancurkan.”
Laras berusia tujuh tahun, kaki-kaki mungilnya menggigil di pasir hitam Pantai L. Garam menempel di luka di lututnya—bekas terjatuh dari pohon mangga saat ia mengejar burung camar. Darahnya bercampur air laut, menciptakan warna merah tua yang pahit.
Ibu muncul dari balik kabut, jilbabnya tertiup angin seperti bendera perang.
“Laut bukan tempat perempuan!” teriaknya, suara parau oleh asap rokok dan azan maghrib. Tangannya mencengkram bahu Laras, kuku-kuku panjang menusuk kulit.
“Lihat itu!” Ibu menunjuk ke samudra yang menganga. “Dia lapar. Dia akan memakanmu seperti memakan nenek moyang kita.”
Tapi Laras tak takut. Di matanya, laut adalah cermin raksasa yang memantulkan langit. Jika ia berteriak ke dalamnya, mungkin sang ratu akan menjawab.
“Ibu salah,” bisik nya, terlalu pelan untuk didengar. “Laut justru satu-satunya yang tak pernah menyuruh diam.”
Angin berubah arah, membawa bau anyir ikan mati. Dari kejauhan, nelayan melambai-lambaikan lampu petromaks seperti kunang-kunang tenggelam. Ibu menariknya pulang, tapi Laras memungut kerang bergerigi—seperti taring sang ratu—dan menyimpannya di saku.
Malam itu, dalam mimpi, ia melihat Nyi Roro Kidul duduk di batu karang, menyisir rambut panjangnya dengan duri ikan hiu.
“Kau pilih mana?” tanya sang ratu, suaranya seperti gesekan koral. “Menjadi ombak yang bebas, atau pasir yang diinjak-injak?”
Laras tak menjawab. Ia hanya melemparkan kerang tadi ke laut.
“Aku bukan ombak. Aku suaranya.”
Esok pagi, kerang itu ditemukan nelayan terdampar di bibir pantai. Di dalamnya, ada mutiara kecil berbentuk tetes darah.
…
1999
“Di sana, perempuan-perempuan tua berkata: Laut adalah kuburan. Tapi aku melihatnya sebagai rahim. Di sini, kita dilahirkan kembali setiap kali pasang datang.”
…
Kini, 32 tahun kemudian, Laras berdiri di tepi kampus Kota Y. Di tangannya, kerang itu masih ada—sekarang menjadi gantungan kunci usang. Setiap kali gempa mengguncang, ia menggesekkan kerang ke telinganya, mendengar bisikan yang sama:
“Hancurkan. Tapi jangan berhenti mengalir.”
Di kelasnya, mahasiswa-mahasiswa menatapnya seperti nelayan menatang laut. Ada yang takut. Ada yang lapar. Tapi Laras hanya tersenyum, karena ia tahu: Gelombang tak pernah meminta izin untuk datang.
…
15 Mei 1999
Kamar Kosong di Rumah KosongIbu membakar jilbab di halaman hari ini. Kain-kain itu berkerut seperti kulit ular yang terkelupas, lalu jadi abu yang beterbangan ke langit. Aku bertanya: Apakah jilbab itu dosa atau pelindung? Tapi Ibu hanya berkata, "Kita tidak butuh pelindung yang dibuat laki-laki."
Ayah pergi kemarin. Dia membawa semua buku-bukunya, kecuali satu: Sebuah buku terjemahan bahasa Indonesia, halaman 23 ditandai dengan lipatan berbentuk hati. Di sana, ada kalimat yang kubaca berulang: "Perempuan tidak dilahirkan, tetapi dibentuk." Aku tidak paham. Tapi di tepi halaman, Ayah mencoret: "Bahkan Tuhan pun takut pada perempuan yang membaca."
Aku menulis ini di pasir belakang rumah. Pasir lebih jujur dari kertas—angin akan menghapusnya sebelum air mata Ibu kering.
…
Malam itu, Laras kecil mengendap ke kamar ayah. Di lantai, ada koper kulit retak berisi buku-buku penulis asing. Sebuah surat tergeletak di bawah meja, alamatnya: "Untuk Laras, jika kau berani membuka."
Tapi Ibu masuk, membawa lampu minyak. Matanya merah.
"Bakar ini," katanya, melemparkan surat ke api. "Kata-kata hanya akan membuatmu lapar, tapi tak pernah kenyang."
Laras menangkap surat itu, telapak tangannya melepuh. Tulisan ayahnya terbaca separuh:
"Cinta adalah...
Sisanya jadi abu.
…
16 Mei 1999
Aku menemukan kucing mati di sumur tua. Tubuhnya membengkak, tapi matanya masih terbuka. Seperti Ayah saat pergi—melihat tapi tak mau melihat.
Ibu membawaku ke pengajian malam ini. Ustadzah bercerita tentang Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Aku berbisik ke teman sebangku: "Kalau Hawa dari tulang rusuk, kenapa Adam yang sakit saat tulangnya patah?"
Mereka menyuruhku keluar.
Di jalan pulang, Ibu mencubit lenganku. "Kau harus belajar diam," katanya. Tapi aku ingin berteriak: "Diam adalah kuburan!"
…
Untuk Ayah,
Aku masih menyimpan buku itu. Halaman 23. Kau tahu, Ibu membakar jilbab, tapi tidak berani membakar kata-kata. Kata-kata lebih panas dari api, ya? Kadang aku bertanya: Apakah kau sengaja meninggalkan buku itu? Atau itu hanya kesalahan? Seperti keberanian—kadang kita tak sengaja menjatuhkannya di lantai, lalu pura-pura tak melihat. Aku menulis di pasir sekarang. Seperti pesan untuk Nyi Roro Kidul. Tapi laut tak pernah membalas.
— Laras
(Surat yang tak terkirim, ditemukan dalam tas Laras, 2024)
…
Tahun 2024, Laras menemukan kembali surat itu di rak buku ayahnya yang sudah meninggal. Hanya satu kalimat terbaca: "Cinta adalah pertanyaan yang kita sembunyikan di bawah bantal". Di belakangnya, ada foto Laras kecil sedang menulis di pasir—tulisan yang sama setiap hari: "Aku bukan tulang rusuk. Aku tulang belikat. Aku yang membuatmu berdiri tegak."
…
Ruangan kelas itu berbau apek dan keringat laki-laki yang tak pernah belajar mendengarkan. Laras berdiri di depan papan, tangannya menuliskan pertanyaan: “Milik siapakah tubuh perempuan?”
Raka, mahasiswa berbaju koko ketat, menyeringai.
“Bu Dosen, ini mata kuliah Kajian Gender atau Pemujaan Setan?”
Tawa renyah menggema. Tapi Laras tak peduli. Ia sudah terbiasa dengan lelucon yang dibungkus ketakutan.
“Tubuhmu adalah pasar,” katanya, spidol merah mencorat-coret gambar rahim di papan.
“Di sini, agama, negara, dan iklan sabun berebut ruang. Tapi siapa yang bertanya pada kita?”
Sebelum Raka membalas, lantai bergoyang.
…
Tsunami 2004
Laras berusia 12 tahun, berlari di antara pecahan genting dan jeritan. Air laut naik seperti tembok raksasa, menjulang di belakangnya. Ibunya tercebur ke selokan, tangan menjulur: “Laras! Pegang!”
Tapi Laras memilih memanjat pohon beringin tua. Akarnya mencengkeram bumi seperti tangan nenek moyang. Dari atas, ia melihat tubuh-tubuh terseret arus—perempuan-perempuan berjilbab, anak kecil, kambing-kambing yang mati melenguh.
Pohon itu berbisik: “Bertahanlah. Kau bukan korban. Kau akar.”
…
Gempa 5,9 SR mengoyak kampus. Mahasiswa berhamburan, tapi Laras diam. Di retakan lantai, ia melihat bayangan diri kecilnya di pohon beringin.
Raka menjerit, “Ini hukuman karena dosa-dosa kita!”
Laras menatapnya, lalu tertawa. “Gempa bukan hukuman. Dia hanya bumi yang ingin bicara: kalian terlalu ribut.”
Di antara reruntuhan, ia mengambil tasnya. Dari dalam, jatuh foto lama: potret ibu muda dengan poster “Perempuan Berhak Atas Tubuhnya” di demo 1998.
…
“Kenapa Ibu tidak menyelamatkan ibunya?” tanya jurnalis. Laras menyalakan rokok. “Karena pohon itu hanya cukup untuk satu orang. Dan aku memilih diri sendiri.” “Apakah itu egois?”
“Tidak”(Transkrip Wawancara dengan Penyelamat Tsunami, 2023)
…
Malam itu, di reruntuhan kampus, Laras menemukan buku catatan Raka.
Di halaman terakhir, tertulis:
“Aku takut pada perempuan seperti dia. Karena mereka tak butuh izin untuk menghancurkan.”
Ia menyimpan catatan itu, lalu menulis di sampulnya:
“Terima kasih. Ketakutanmu adalah pupuk untuk kami tumbuh.”
Di kejauhan, pohon beringin di halaman kampus bergoyang—seakan mengangguk.
…
Bumi gempa karena ia tak bisa lagi menahan beban.
Perempuan berteriak karena kami tak mau lagi jadi beban.
Hancurkan, lalu bangun dari puing-puing.
— Suara Dari Retakan, KOLEKTIF F, 2003.
(Sebuah Pamflet yang ditemukan di reruntuhan)
…
Judul:
“Malam Bersama Pak Darso: Arwah Sutradara Porno 80-an dan Segelas Arak yang Tak Pernah Habis”
Lokasi: Studio Bioskop Kosong di Jalan Malioboro, 2024
Catatan Editor: Wawancara ini direkam setelah Laras mengonsumsi jamu campur dedaunan langka. Apakah Pak Darso nyata atau halusinasi? Pembaca dipersilakan memilih.
Dialog:
Laras : (Menyalakan kamera) Kenapa Anda membuat film porno?
Pak Darso : (bayangan di layar retak) Dulu, aku pikir aku sedang membebaskan perempuan. Ternyata aku hanya memberi mereka kacamata kuda. Kau tahu, layar itu seperti lubang jarum—perempuan harus masuk sendirian, sementara kami mengatur cahayanya.
Laras : Tapi Anda merekam mereka yang "mau".
Pak Darso : (Tertawa pahit) "Mau" adalah kata favorit laki-laki. Seperti "mau" makan bakso, "mau" naik motor. Tapi kau tahu, di tahun 80-an, perempuan yang "mau" itu hanya dua jenis: yang kelaparan atau yang ditinggal suami.
Laras : (Menggeser kameranya ke sudut kamar, di mana bayangan Pak Darso berubah menjadi siluet wayang) Jadi Anda penjahat?
Pak Darso : (Suara menggema) Aku cermin. Dan cermin tak pernah bohong—ia hanya memantulkan apa yang ingin dilihat. Lihat! Layar tiba-tiba menampilkan adegan film tua: Perempuan berbaju kebaya membuka kancing baju sambil membaca puisi Chairil Anwar. Suaranya parau: "Aku mau hidup seribu tahun lagi!"
Laras : (Menekan pause) Ini palsu.
Pak Darso : Semua film porno itu palsu, Non. Bahkan yang "feminis" buatanmu. Bedanya, kau pikir kamera milikmu suci?
Laras : Saya tidak menjual fantasi.
Pak Darso : (Mendekat, bau anyir tembakau basah) Kau menjual pemberontakan. Dan itu lebih mahal dari sekadar fantasi. Tapi hati-hati—orang membeli pemberontakanmu bukan untuk dibaca, tapi untuk onani.
…
"Pornografi adalah bahasa pertama laki-laki. Kami diajari membacanya sebelum bisa mengeja 'Ibu'."
— Esai Laras di Jurnal PN, 2023
…
jika orang lain yang menulis kisahku, mereka akan fokus pada hal-hal yang salah. Mereka akan menggambarkan rambutku sebagai 'liar dan menggoda', bukan sebagai mahkota kusut yang kubanggakan. Mereka akan menulis tentang tulang selangkaku yang 'menonjol seksi', bukan sebagai bagian dari tubuh yang membantuku bernapas lega. Mereka akan menyebut bekas lukaku sebagai 'cacat', bukan sebagai tanda baca dalam autobiografi kulit sawo matang ini.
Mereka akan menulis tentang seksualitasku dengan male gaze—mengurangi pengalamanku menjadi fantasi mereka. Mereka akan menggambarkan orgasmeku sebagai sesuatu yang mereka berikan, bukan sebagai sesuatu yang kuciptakan untuk diriku sendiri. Mereka akan menulis tentang tubuhku sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Itulah mengapa aku harus menulis kisahku sendiri. Karena hanya aku yang tahu bagaimana rasanya hidup di dalam tubuh ini—bukan sebagai hiasan, tapi sebagai manusia."
…
Laras : (Mengambil botol arak) Kalau begitu, bagaimana cara mengubah bahasa itu?
Pak Darso : (Menuangkan arak ke lantai, cairan menguap jadi kabut) Mulailah dengan meracuni sumur. Tapi jangan lupa—kau juga haus.
(Layar menyala lagi)
Adegan tahun 1985
Pak Darso muda memukul meja: "Cut! Jangan menangis! Kau harus senang diperkosa!"
Laras : (Memecahkan gelas) Ini monster.
Pak Darso : (Bayangan memudar) Aku monster? Lihat kau—memakai kamera digital, mengklaim diri suci, tapi matamu sama lapar dengan mataku dulu. Bedanya, kau punya hashtag.
Transmisi terputus. Layar hanya menampilkan nois statis.
Daftar Film Darsono:
Gadis Kali Code (1982): Perempuan penari yang jatuh cinta pada kamera.
Malam Jumat Kliwon (1987): Adegan horor-erotis dengan ritual Jawa.
Bisikan Bayi Tabung (1991): Satir tentang teknologi reproduksi.
…
Malam itu, aku pulang dengan kamera penuh debu dan pertanyaan: Apakah benar kami hanya mengulang siklus dengan baju baru? Tapi di jalan, seorang perempuan tua menjual bunga melati berbisik: "Jangan berhenti merekam. Meski hanya untuk membuktikan kita pernah ada."
(Catatan Lapangan Laras)
…
Dito datang tanpa diundang. Bau parfumnya masih sama: kayu oud dan keringat yang menyamar sebagai kepercayaan diri. Laras membiarkannya masuk, bukan karena rindu, tapi karena ingin melihat apakah tubuhnya masih bereaksi pada mantan kekasih yang dulu menyebut feminisme sebagai "bahan bercanda untuk perempuan overthinker".
"Kau belum berubah," katanya, jari menyentuh leher Laras.
"Masih pakai minyak esensial nilam? Masih anti bra?"
Laras tak menjawab. Tubuhnya ingat: Dito adalah laki-laki yang mengajarinya orgasme pertama sambil berbisik, "Jangan terlalu keras. Nanti aku malu."
…
17 Agustus 2015
Aku berbaring di kasur Dito, tubuhku berkeringat, mataku menatap langit-langit yang retak. Dia tertawa: "Kamu terlalu banyak baca buku feminis. Itu bikin dingin. "Aku ingin menjerit: "Bukan bukunya yang dingin, tapi caramu menyentuh seperti sedang memeriksa barang bekas." Tapi aku diam. Seperti perempuan-perempuan baik.
(Catatan Harian 2015)
…
2024
Saat Dito mencoba menciumnya, ia menoleh.
"Aku sedang riset," katanya, mata tak berkedip.
"Tentang bagaimana laki-laki menggunakan seks sebagai alat pedagogi."
Dito tertawa, tangan meremas paha Laras.
"Pedagogi? Kita dulu hanya dua orang yang saling butuh."
"Salah," Laras mendorongnya.
"Aku butuh. Kau hanya ingin."
…
Psikolog: Kenapa kembali ke Dito?
Laras: Untuk membuktikan bahwa aku bisa mengatakan "tidak" di ranjang yang sama tempat aku pernah bisu.
Psikolog: Apakah berhasil?
Laras: (Tertawa) Tanyakan pada vibrator di laci meja kerjanya.
(Transkrip Terapi 2023)
…
Dito menanggalkan baju. Di dadanya, tato huruf Asing: "#@%*&#(" (pelindung). Laras menyentuhnya, tiba-tiba teringat teori Fatima Mernissi: "Laki-laki takut perempuan membaca karena huruf bisa membongkar makna."
"Kau tahu artinya?" tanya Dito, bangga. "Ya," Laras menggesekkan kuku ke tato itu. "Tapi kau lupa kata selanjutnya: '...atas perempuan yang mereka pelihara.' Aku bukan peliharaanmu." Dia menggigit bahu Dito—bukan isyarat hasrat, tapi tanda kepemilikan.
…
Ini bukan seks. Ini arkeologi. Aku menggali bekas luka di tubuhku sendiri, mencari artefak Laras muda yang terkubur rasa malu. Dito hanyalah kuas yang kugunakan untuk membersihkan debu. Tubuhnya panas, tapi pikiranku dingin. Aku menghitung: 5 tahun sejak terakhir kali. 3 orgasme palsu. 1 kali dia bilang "Aku mencintaimu" sambil melihat notifikasi HP. Sekarang? Aku ingin tertawa. Karena akhirnya aku bisa menangis tanpa orgasme.
…
(Pesan Singkat Setelahnya)
Dito: Kamu jadi terlalu dingin. Feminis kok jahat?
Laras: Bukan jahat. Hanya tidak mau jadi pemanas ruanganmu lagi.
…
"Seks dengan mantan adalah ziarah ke makam diri sendiri. Kita datang bukan untuk berdoa, tapi memastikan mayat itu tetap terkubur."
(Catatan di sebuah buku milik Laras)
…
Selepas Dito
Aku adalah ruangan Yang dulu kaupanaskan dengan kayu curian Sekarang Kubakar sendiri dingin ini Menjadi senja
(Puisi yang ditulis Laras)
…
(bersambung..)